Senin, 24 Oktober 2011

Dzikir dan Pengertiannya

Kata Dzikir berasal dari kata Dzakara yang artinya dari segi bahasa ialah :

“Memelihara dalam ingatan”.Jadi, Dzakarallâha artinya : “(Ia) Memelihara ingatan untuk selalu mengingat Allâh dengan cara bertasbih dan mengagungkan-Nya”.
Sedangkan Dzakara Ismallâh artinya : “Menyebut nama Allâh”.
Imam Nawawi (rahimahullâh) mengatakan bahwa dzikir itu dapat dilakukan dengan hati atau dengan lisan. Akan tetapi lebih afdhal bila dilakukan dengan keduanya. Namun, bila ingin memilih diantara kedua hal itu, maka lebih afdhal bila dilakukan dengan hati. Di samping itu tidak layak bagi seseorang untuk meninggalkan dzikir dengan lisan dan hati hanya karena kuatir dituduh riya (pamer). Jadi, dzikir dengan hati dan lisan itu harus tetap dilakukan dengan niat semata-mata karena Allâh SWT.
(Al-Adzkar hal. 6)
Namun, Imam Nawawi juga menegaskan bahwa yang dimaksud dzikir di sini ialah hadirnya hati. Maka sudah sepantasnya bagi setiap orang yang melakukan dzikir untuk menyadari bahwa itulah tujuannya sehingga timbul keinginan untuk meraih hasilnya dengan mentadabbur ucapan-ucapan dzikirnya serta memikirkan makna-maknanya. Karena tadabbur atau tafakkur (merenung) dalam berdzikir merupakan keharusan sebagaimana ketika ia membaca Al-Qur-ân karena kedua-duanya memiliki maksud dan tujuan yang sama. (Al-Adzkar hal. 9)
Allâh SWT. telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berdzikir kepada-Nya, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah (2) : 152 :

“Maka berdzikirlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku”.Zaid bin Aslam menceritakan bahwa Nabi Musa a.s. pernah bertanya kepada Allâh : “Wahai Rabb-ku, bagaimanakah cara aku bersyukur kepada-Mu?”. Maka Allâh SWT. menjawab :

“Berdzikirlah engkau senantiasa kepada-Ku dan jangan engkau lalai dari-Ku. Maka jika engkau berdzikir kepada-Ku berarti engkau telah bersyukur kepada-Ku. Dan jika engkau lalai dari-Ku berarti engkau telah kufur kepada-Ku”.Anas bin Malik r.a. telah meriwayatkan bahwa Rasulûllâh saw. bersabda :

Allâh Yang Maha Mulia dan Maha Agung berfirman : “Wahai Ibnu Adam, apabila engkau berdzikir (mengingat dan menyebut) Aku di dalam diri-mu, maka Aku-pun akan mengingat-mu dalam diri-Ku. Dan jika engkau berdzikir (mengingat dan menyebut) Aku di tengah-tengah kelompok yang mulia, maka Aku-pun akan mengingat dan menyebut-mu di tengah-tengah para Malaikat yang mulia……”.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz I hal. 197)
Arti lain dari kata Dzakara ialah : “Mengerti dan Memahami”. Jadi, bila dikatakan :

“(Ia) Mengerti dan memahami perkara itu”Orang yang paham dan memiliki pengertian atau pengetahuan yang dalam disebut “Ahludz-Dzikri” sebagaimana disebut dalam Al-Qur-ân surah An-Nahl (16) : 43 :

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahludz-Dzikri) jika kalian tidak mengetahui”.Dan juga dalam surah Al-Anbiya (21) : 7 :

“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah oleh-mu kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan (Ahludz-Dzikri) jika kalian tidak mengetahui”.Jadi, arti Adz-Dzikr dalam konteks ini ialah “Pengetahuan” atau “Ilmu”. Itulah sebabnya Al-Qur-’ân disebut Adz-Dzikr karena ia mengandung ilmu pengetahuan yang sempurna yang mencakup kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana disebut dalam surah Al-Hijr (15) : 9 :

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur-‘ân), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz II hal. 547)
Berdasarkan ayat-ayat ini, Abu Ja’far Al-Baqir menegaskan bahwa umat Muhammad saw. adalah Ahlu-Dzikri, karena umat ini memiliki –sumber– pengetahuan yang paling lengkap dan sempurna dibanding umat-umat sebelumnya, yaitu : Al-Qur-’ânul-Karîm.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsîr juz II hal. 570)

Jadi dapat di simpulkan bahwa :

1. Dalam pengertian bahasa, berasal dari kata dzakara, artinya ingat. Dzikrullah yaitu ingat kepada Allah SWT.
2. Dalam pengertian yang bersifat umum. Yaitu dzikir yang dilakukan dalam bentuk ibadah seperti: shalat, zakat, puasa, Haji, dan lain-lain.
3. Dalam pengertian yang bersifat khusus. Yaitu dzikir yang dilakukan dengan menyebut-nyebut (dengan mulut) atau mengingat, mengenang, merasakan, menghayati (dengan qalbu). Biasanya dilakukan setelah melaksanakan shalat.

Maka apabila kamu selesai mengerjakan shalat maka berdzikirlah kamu kepada Allah di waktu berdiri, duduk dan di waktu berbaring. (QS. An Nisaa’ : 103)

Dzikir yang bersifat khusus ini banyak macamnya, diantaranya:
• Tasbih (Subhanallâh)
• Tahmid (Alhamdulillâh)
• Tahlil (Lâ Ilâha Illallâh)
• Takbir (Allâhu akbar)
• Tilawatil Qur’an, dan sebagainya.

Namun yang paling utama adalah lâ Ilâha Illallâh.
Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata : Saya dengar Rasulullah SAW bersabda : “Dzikir yang paling utama ialah kalimat lâ Ilâha Illallâh“ ( HR. Imam Turmudzi)

Dzikir Jahri (nyata) dan Dzikir Sirri (rahasia)
Dan rahasiakanlah (sirri) perkataanmu atau nyatakanlah (jahri); sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang bergejolak di dalam dada.(Al Mulk : 13)

Dzikir Jahri atau Dzikir Jahar adalah dzikir yang diucapkan. Dzikir yang dilaksanakan setelah mengerjakan shalat, untuk memohon perlindungan Allah dari segala gangguan dan serangan syetan yang selalu mengajak ke jalan kesesatan sehingga melanggar perintah Allah.
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al A’raaf : 16-17)

Dzikir Jahri dilakukan mulut dengan menyebut-nyebut bacaan (lafazh): Istighfar, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Takbir, dan lain-lain, ayat Al-Qur’an atau wirid.

Sedangkan bacaan dzikir yang kita ucapkan terbatas pada ruang dan waktu, artinya terbatas pada tempat tertentu saja karena apabila sudah di dalam kakus/wc bacaan dzikir tidak boleh lagi diucapkan, dan terbatas pada waktu artinya hanya dalam jumlah bilangan tertentu saja, karena tidak mungkin kita ucapkan bacaan dzikir tersebut terus menerus selama 24 jam penuh.
Karenanya Dzikir Jahri nyata terdengar suaranya dan nyata terlihat getar bibir mengucapkannya. Bila dilakukan berjamaah suara Dzikir Jahri kadang menggemuruh menimbulkan rasa mencengkam dan rendah di hadapan Allah.

Sesungguhnya bergemuruhnya suara orang berdzikir saat usai shalat fardhu betul-betul terjadi di masa Rasulullah SAW. Aku dapat mengetahui orang sudah usai shalat (berjamaah di masjid Nabi) ketika kudengar suara dzikir itu. (H.S. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)

Dzikir inilah yang diucapkan setelah shalat fardhu dengan mengangkat suara dan pukulan gema yang kuat agar menghasilkan nur dzikir di dalam rongga bathin mereka yang berdzikir, sehingga hati mereka itu hidup dengan nur hidup yang abadi yang bersifat keakhiratan, juga oleh karena hati itu keras seperti batu sebagaimana batu tidak dapat dipecahkan kecuali dengan kekuatan yang luar biasa, maka demikian pula dzikir tidak akan berbekas pada kekusutan hati kecuali dengan kekuatan yang luar biasa pula, yaitu dengan dzikir jahri.
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi…(Al Baqarah : 74)

Dzikir Sirri atau dzikir khafi - dzikir yang tersembunyi – karena ia diingatkan di dalam hati, tidak menggunakan mulut, melainkan dzawq (perasaan) dan syu`ûr (kesadaran) yang ada di dalam qalbu. Karenanya dzikir ini menjadi tersamar (khafiy) dan hanya pelaku serta Allah SWT saja yang dapat mengetahuinya. Dengan Dzikir Sirri kita berusaha menghadirkan Allah di dalam hati terus menerus, 24 jam penuh, tanpa terbatas ruang dan waktu.
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
(Al A’raaf : 205)

Dalam Dzikir Sirri orang mengingat Allah, merasakan kehadiran Allah, menyadari keberadaan Allah. Di dalam qalbunya tumbuh rasa cinta, rasa rindu kepada Allah, rasa dekat, bersahabat, seakan melihat Allah. Itulah ihsân, dimana dalam ibadahmu kamu merasa melihat Allah, atau setidaknya merasa sedang dilihat oleh Allah SWT. Inilah dzikir yang hakiki, sebab hubungan manusia dengan Allah SWT tidak terjadi dengan tubuh jasmaninya melainkan dengan qalbunya.
…Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berhubungan dengan manusia melalui qalbunya…(Al Anfaal : 24)

Maka jangan puas hanya dengan dzikir mulut, tembuskan dzikir kedalam qalbu, getarkan qalbu dengan rasa rindu kepada Allah, getaran yang juga menggoncang sel-sel kelenjar hormon untuk aktif menjaga keseimbangan hormon di dalam tubuh. Hormon adalah pengendali metabolisme tubuh. Dengan dzikir sirri metabolisme akan berjalan lancar alamiah menimbulkan kehangatan dan daya tahan tubuh (immune) terhadap berbagai penyakit.
Senantiasalah kita berdzikir sebanyak-banyaknya dan dilakukan secara terus menerus, jikalau lupa, ingat kembali, lupa, lalu ingatkan lagi, dan seterusnya.
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. “(Al Ahzab : 41)

” …Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa…”
(Al Kahfi : 24)

Animated Purple Gitter Skull